sekuteng wedang jahe

Sudah tidak terbantahkan, Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan. Dari Sabang sampai Merauke, terdapat beraneka ragam budaya. Antara daerah satu dengan yang lainnya, memiliki budaya yang berbeda-beda. Budaya itu pun biasanya diwariskan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Setiap daerah memiliki warisan budaya masing-masing.

 Budaya tersebut lahir dari fenomena yang ada dalam masyarakat. Salah satu produk dari budaya adalah bahasa. Bahasa merupakan ujaran yang diucapakan secara lisan dan verbal. Lambang, simbol, dan tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa mengandung makna yang berkaitan dengan situasi hidup dan pengalaman nyata manusia. Selain kaya akan budaya, Indonesia juga kaya bahasa. Setiap daerah memiliki lambang, simbol, dan tanda berbeda untuk situasi yang sama. Jadi, suatu barang di suatu tempat bisa memiliki nama yang berbeda jika di tempat lain, dan satu nama yang sama bisa saja memiliki wujud yang berbeda di tempat lain, misalnya saja Wedang Ronde dan Sekoteng.

 Di Yogjakarta, Wedang Ronde adalah minuman dari seduhan air jahe yang berisi bola-bola dari tepung ketan. Akan tetapi, di daerah Banten, minuman seperti itu biasa disebut Sekoteng. Sedangkan, di Yogjakarta sendiri Sekoteng adalah minuman dari jahe juga, hanya saja tanpa bola-bola dari tepung ketan. Adanya perbedaan budaya, mempengaruhi persepsi setiap orang. Dari perbedaan persepsi tersebut, bisa saja timbul suatu konflik. Apalagi, jika antara kedua belah pihak yang berbeda persepsi tidak ada yang mau mengalah, bisa jadi perbedaan persepsi menimbulkan pertumpahan darah. Saya sendiri pernah mengalami perbedaan persepsi dengan teman saya, namun untungnya tidak sampai terjadi konflik. Suatu hari, saya dan teman-teman kos berjalan-jalan ke Malioboro, Yogjakarta.


Setelah lelah berkeliling, melihat-lihat dan sedikit berbelanja, kami pun beristirahat di sebuah warung makan. Di daftar menu tertulis berbagai macam jenis makanan dan minuman. Melihat minuman Sekoteng terdaftar di menu, salah satu teman saya, yang berasal dari Banten, merasa senang sekali. Ia mengakui bahwa ia menyukai minuman tersebut. Ketika di Banten ia juga seringkali menikmati minuman Sekoteng. Sekian lama memilih-milih, akhirnya kami memesan Bakso dan Sekoteng. Ketika pesanan kami datang, teman saya yang berasal dari Banten merasa gembira tidak sabar untuk menikmati Sekoteng. Tiba-tiba teman saya tersebut memasang wajah agak kecewa setelah


mengaduk-aduk Sekoteng yang disajikan. Saya pun merasa bingung. Bukankah tadi dia berkata bahwa dia menyukai Sekoteng? Karena penasaran, saya pun menanyakan hal itu. Ternyata ia kecewa tidak menemukan bola-bola dari ketan dan kolang-kaling di dalam seduhan jahe. Di daerah teman saya tinggal, masyarakat biasa menyebut minuman dengan bola-bola ketan adalah Sekoteng. Saya pun menjelaskan padanya. Di Jogja, minuman seperti yang ia kehendaki tersebut bukan bernama Sekoteng, tapi bernama Wedang Ronde. Memang Wedang Ronde dan Sekoteng sama-sama

menggunakan seduhan air jahe, namun keduanya mempunyai pebedaan. Perbedaan tersebut terletak pada bola-bola dari ketan yang disebut ”Ronde”. Jadi, setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu objek. Perbedaan persepsi dapat mengakibatkan makna yang pesan dalam suatu komunikasi tidak tersampaikan dengan tepat. Perbedaan persepsi seseorang dapat


dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Persepsi adalah inti dari komunikasi, sedangkan interpretasi adalah inti persepsi tersebut. Dari suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya memiliki nilai budaya yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, persepsi mengenai suatu objek belum tentu sama antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.


Undeniably, Indonesia is a country rich in culture. From Sabang to Merauke, there is a wide variety of cultures. Between regions with each other, have different cultures. Culture is usually passed down from generation to generation. Each region has its own cultural heritage. Culture is born from the phenomenon that exists in society. One product of culture is language. Language is utterance spoken verbally and verbally. The symbols, symbols, and signs used in the language contain meanings


relating to real life situations and human experiences. Besides being rich in culture, Indonesia is also rich in languages. Each region has symbols, symbols, and different marks for the same situation. So, an item somewhere could have a different name if elsewhere, and the same name could have a different form elsewhere, such as Wedang Ronde and Sekoteng. In Yogjakarta, Wedang Ronde is a drink of steaming ginger containing balls of sticky rice flour. However, in the area of ​​Banten, such drinks are usually called Sekoteng. Meanwhile, in Yogjakarta Sekoteng itself is a drink from ginger as well, only without balls of glutinous rice flour. The existence of cultural differences, affect the


perception of each person. From these differences of perception, there could be a conflict. Moreover, if between the two sides of different perceptions nobody wants to budge, it could be a difference in perception causing bloodshed. I myself have experienced differences in perception with my friends, but fortunately not until the conflict occurred. One day, me and my friends boarding the streets to


Malioboro, Yogjakarta. After tired of traveling around, looking around and a little shopping, we were resting in a food stall. On the menu list written various kinds of food and beverages. Seeing Sekoteng drinks listed on the menu, one of my friends, who came from Banten, was delighted. He admitted that he liked the drink. When in Banten he also often enjoy drinks Sekoteng. For a long time choosing, we finally ordered Meatballs and Sekoteng. When our order came, my friend who came from Banten was delighted to be impatient to enjoy Sekoteng. Suddenly my friend was put up a bit disappointed after stirring Sekoteng presented. I also felt confused. Did not he say that he liked Sekoteng?

 Out of curiosity, I asked that. Apparently he was disappointed not to find the balls of sticky rice and fro in the steeping ginger. In the area of ​​my friends live, people used to call drinks with glutinous balls is Sekoteng. I explained to him. In Jogja, the drink as he wanted was not named Sekoteng, but named Wedang Ronde. Indeed, Wedang Ronde and Sekoteng both use steeping ginger water, but both have pebedaan. The difference lies in the globules of glutinous rice called "Ronde"

. Thus, everyone has different perceptions of an object. Differences in perception can lead to meaning that messages in a communication are not delivered properly. Differences in one's perception can be influenced by cultural factors. Perception is the essence of communication, while interpretation is the core of that perception. From one culture to another culture has different cultural values. Therefore, the perception of an object is not necessarily the same between a society and other societies.


Comments

Popular posts from this blog

cara bikin wedang jahe ronde

semangkuk wedang ronde

Pesan wedang ronde jahe paling enak di jakarta harga desa rasa restauran